Sabtu, 15 Agustus 2015

Kamu datang kembali, setelah membanting pintu

Lelaki itu, dharma namanya. Aku melihatnya di ujung jalan sebelah wedangan tempatku bekerja tadi malam. Dia mendekap badannya kedinginan, mungkin karna pakaiannya yang terlalu tipis tanpa di tutupi jaket. Dan celana yang di kenakannya, selutut. Tidak akan tahan melawan dingin kota jogja malam ini.

Beberapa jeda sudah ku terima. Sampai akhirnya kakiku tidak mengikuti perintah sistem syaraf otak ku. Berjalan tanpa alasan, berjalan perlahan menapaki lorong jalan ini menujunya. "Dhar.." dharma menatapku sambil kedinginan. Ku lepaskan jaket tebalku, ku tutupi sebagian pundaknya. Dia masih berusaha terdiap dengan posisi duduknya. Aku yang berdiri tak mampu mendekatinya dan duduk di sampingnya seperti dulu lagi. Ingin sekali ku perlakukan dia semesra dahulu, tidak membiarkan angin merusak bulu atau kulitnya seujung kuku. Ingin sekali aku duduk di sampingnya, mendekap tangannya, mengusapnya agar hilang rasa dingin yang menusuk sampai balung tangannya. Tapi kali ini sudah berbeda.
Aku memilih berdiri di sampingnya. "Aku sudah melihatmu sejak tadi".
"Aku minta maaf" lirih dharma. "Ya?" Ujarku, sejujurnya bukan aku tidak mendengar. Tetapi lebih pada keheranan dengan tingkahnya. "Dhar.. sudah malam, udara juga terlalu dingin. Ayok ke wedangan, ku buatkan minuman yang hangat supaya dinginmu..." dharma memutus obrolanku "aku minta..". Kemudian aku memutus perkataannya "ayolah.. kita bicara di wedangan". Dharma mulai merajuk, aku paham dengan sifatnya kali ini. Sifatnya yang sejak dulu dia pertahankan selama bersamaku. Aku tau, kemauannya saat itu adalah: aku mendengarkannya dengan baik sampai selesai.
Tetapi keadaannya dia sudah terlalu kedinginan. Dengan jaketku, tidak akan bisa menutupi semua bagian tubuhnya yang kedinginan. "Tolong dhar, aku bahkan lebih sakit hati melihatmu seperti ini". Ujarku dalam hati.

Aku mengulurkan tanganku. Memanjakannya seperti dulu, seperti yang sering ku lakukan dulu. Duduk di depannya, menatap matanya sambil tersenyum, mendekap tangannya, menariknya sampai berdiri, dan berkata "gitu dong.. pinteeer". Tetapi, kenyataannya tidak semua adegan dapat ku lakukan. Aku hanya mampu mengulurkan tangan dan memintanya berdiri. Dharma pun mengikutiku sampai ke kedai.

Ku buatkan dia secangkir kopi hitam panas dengan sedikit gula, "sudah makan?" Tanyaku, dharma menggeleng, "ku buatkan sesuatu, mau?".
"Panca..." dharma mencoba tersenyum dengan berat, ku lihat dalam-dalam pada matanya. Sepertinya dia menahan sesuatu yang sangat berat "a...." hanya itu yang dia bisa katakan. Kemudian membuang muka.

Sudah hampir 10 menit kita membuat jeda. Bahkan kopi yang ku buat tidak di minumnya sedikitpun. Ku coba memulai pembicaraan.. "kamu sehat-sehat aja kan selama ini?" Dharma mengangguk pelan. "Sepertinya di kampung halamanmu sedang banyak kegiatan?" Dia juga mengangguk "gimana kondisi keluarga di rumah, baik?" Dharma hanya tersenyum dan mengangguk pelan sambil menghela nafas panjang. "Makan, minum, tidur teratur kan? Bermain forex, ngegame.. masih seperti biasa?" Kali ini dia menjawab dengan bahasa tubuh yang berbeda. Dharma melipat bibirnya, menggigit giginya, menahan butiran bening jatuh dari matanya. Bibirnya gemetar menghadapiku, di minumnya kopi yang sudah berangsur dingin itu pelan-pelan. "Aku selalu berdoa supaya kamu hidup dengan baik-baik saja disana dhar, selalu ku doakan agar kamu mempunyai aktifitas yang baik sesambil melupakanku." Ku telan ludahku pelan-pelan sampai mengeluarkan bunyi di tenggorokan..

Lanjut baca di novel renjana yaaa sahabat renjana.
Minta doanya agar novel bisa selesai dengan segera. Terimakasih..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar