Kamis, 17 September 2015

MESJID MATARAM KOTAGEDE YOGYAKARTA

Mesjid Mataram Kotagede

Kotagede merupakan salah satu kawasan bersejarah yang ada di Yogyakarta. Selain terkenal sebagai penghasil perak unggulan, Kotagede juga menyimpan berbagai bangunan bersejarah. Salah satu bangunan bersejarah yang ada di Kotagede adalah Masjid Mataram Kotagede.

Masjid Mataram Kotagede didirikan tahun 1640 atas prakarsa Sultan Agung dan dibantu oleh warga sekitar Kotagede yang saat itu banyak menganut agama Hindu dan Budha. Pengaruh Hindu dan Budha juga dapat terlihat dari berbagai ornamen yang ada di masjid berusia ratusan tahun ini. Ujar pak warisman, narasumber saya sekaligus sie.pendidikan di mesjid mataram kotagede. Satu lagi namanya pak surjaji, tetapi statt lebih ke agama, maaf.. dari pada saya salah dan melanggar kode etika jurnalistik yang dari semester 1 sudah dapat D dari dosen. Jadi saya tuliskan yang umum saja ya guys..

Di sekitar masjid, terdapat sebuah prasasti yang menceritakan proses pembangunan masjid ini. Menurut keterangan pada prasasti, masjid ini dibangun dalam dua tahap. Tahap pertama dilakukan oleh Sultan Agung. Bangunan masjid saat itu masih kecil, atau biasa disebut langgar. Pada tahap kedua, pembangunan masjid diteruskan oleh Pakubuwono X, selaku Raja Kesultanan Surakarta.

Seyogianya, mesjid pada jaman dahulu selalu di iringi dan di buntuti oleh makam. Ini berbeda jauh ketika saya liputan di kalimantan, dimana suku dayak lebih suka memakamkan sanak sodara di beranda rumahnya agar tidak merasa kehilangan. Nah.. di jawa, makam beriringan dengan mesjid. Hal yang menarik, tapi lagi-lagi harus menyangkut agama. Dan saya lebih memilih diam (maaf)

Masjid Mataram Kotagede merupakan salah satu kekayaan kebudayaan Indonesia. Melihat arsitektur masjid ini, dapat diketahui bahwa bangsa Indonesia sejak dulu telah terbiasa dengan perbedaan keyakinan. Karenanya, mengunjungi Masjid Mataram Kotagede  tidaklah sekadar berwisata. Para pengunjung pun dapat menghayati nilai-nilai persaudaraan yang sudah ada jauh sebelum negeri ini berdiri.

Usung-usung nulis soal perpaduan agama yang saya sendiri takut salah. Nah.. saya jelaskan yang stensil aja ya disini kaya biasa. Menyangkut jamu sekarang, bukan kopi -_-

Sebulan yang lalu saya bertandang ke mesjid mataram ini dengan beberapa crew. Aris (dop), tembong (sutradara), ade (camera master), jelaaass.. saya gak ketinggalan si penulis naskahnya. Kita garap dokumenter tentang filosofi bangunan mesjid mataram kota gede. Karena menurut sutradara saya, hal ini menarik di abadikan, mengingat beberapa bangunan mesjid di Jogja sudah mengarah ke timur tengah. Dan mesjid mataram, tetap bertahan dengan gaya kehindu-hinduannya.
"Well, walaupun saya lebih tertarik kenapa di setiap sudut ornamen selalu ada topeng angkoro murko". Tetapi pertanyaan ini tidak saya tanyakan, karena akan menjadi stensilan lagi nanti dokumenternya si boss.

Setelah beberapa hari pulang pergi mesjid mataram melaju dari janti ke kotagede. Saya merasa lelah "adek lelah baaang..". Ngerogoh saku dan disana masih ada kopi kalimantan dua sac. Teman saya aris bilang "jangan ngopi mulu, disini ada minuman khas jawa. Sekali-sekali nongkrong sambil mimik minuman khas yuk". Okee.. badan pegel-pegel, liputan dan wawancara udah. Kenalan sama beberapa crew trans7 juga udah, bantuin acara tukiyah massal juga udah. Saya memutuskan untuk mengikuti aris. Persis di depan mesjid mataram, terdapatlah penjual jamu. Awalnya ragu, karena sebelumnya saya belum pernah minum jamu. "Bu, jamu buat pegel-pegel 2" aris memesan jamu. Setengah jam kemudian jamu itu jadi. Dengan di alasi batok kelapa yang seperti mangkuk kobokan.
Kenapa lama kami baru dapat jamunya? First.. ini jamu laris gila. Terus di peres langsung di hadapan pembelinya, atraksi gitu ibunya (ambil kunir yang sudah di aluskan, geprek jahe pake palu, tambah air ini itu, tambah madu yang di potong langsung dari sarangnya, di coleknya beberapa lebah yang masih nyantol, aih.. pembunuhan lebah masal gitu lah pokoknya, terus di peras jadi satu. Perasannya di getok ke meja agar ampas yang menempel terbuang. Getokinnya semacam mikul paku menggunakan palu. Kenceng banget bunyinya). Sampai-sampai saya berfikir ini tukang jamu apa kuli bangunan??
Voilaa.. jamu akhirnya siap santap. Alamaaak, rasanya dahsyat.. manis, paitnya gak begitu kerasa, kental banget seperti vegeta. Ada serat-seratnya gitu. Pokoknya ini jamu gak kaya buyung upik.. enak banget! Kalian kudu nyobain, dan terakhir di kasih jahe manis. Rasanyaaa men.. luar biasa!

Azan magrib berkumandang, saya dan aris segera kembali ke mesjid. Waktu bayar, saya fikir bakal merogoh kocek puluhan ribu. Ternyata jogja masih saja jogja, sederhana! Hanya dengan 5 ribu rupiah, kita sudah menikmati jamu, atraksi, percakapan, canda tawa pembeli, kehangatan kotagede dan irama pasar yang merapikan dagangannya untuk pulang saat petang

1 komentar: