Minggu, 11 Oktober 2015

Sebisaku

Malam itu aku yang basah kuyup di terpa hujan yang berirama menuju rumahmu. Pakaianku sudah lekat dan menjiplak pada lekuk tubuhku. Kakiku penuh lumpur karena aku berjalan menuju rumahmu tanpa alas kaki.

Tok, tok, tok.. suara pintu terbuat dari kayu itu. Aku yakin arah ini benar tempatmu. Belum ada jawaban dari dalam. Tok, tok, tok.. ku pukulkan kariku yang mungil ini di pintu rumahmu kedua kali. Ada jejak kaki yang berjalan dari dalam rumah dengan pelan. Tok, tok, tok.. ku ketuk pintu rumahmu ke tiga kali. Kamu membukakan pintu, "ah.. tepat. Aku menuju rumahmu dengan benar". Belum sempat aku mengungkapkan keinginanku, dari balik punggungmu agak jauh muncul seorang wanita yang ku kenal. Wanita yang sudah pernah menghancurkan hubungan kita dulu. Dia mengenakan pakaian yang serba seadanya. Ku rasa beberapa sel otak ku mulai bekerja per sekian milidetiknya, aku mengerti apa yang baru saja terjadi di rumahmu sebelum aku datang. Ingin sekali aku berucap "ludahi saja aku biar kasihan ku sempurna di sepertiga pagi ini" , tapi ku tahan. Aku memilih menarik ludahku dalam-dalam. "Ada apa?" Ujarmu sederhana.

"Tutup lagi saja pintumu, aku akan pulang". Singkatku, tanpa basa basi dia menutup pintu rumahnya dan membuatku menelan sepahit-pahitnya adegan. Ku balikan badanku, aku menuju rumahku kembali dengan kasihan. Menangis aku di sepanjang jalan. Beberapa genangan air terkadang menciprati badanku karena di hantam ban mobil. Ku teriakan subuh ini karena sudah menghukum ku sejauh ini "aaaaaaaaa...."

#3 hari setelahnya#
Beberapa orang semakin sedikit meninggalkan tanah yang agak cembung ini. Aku bingung, karena beberapa dari mereka menangis tak berkesudahan. Sebagian memakai seledang hitam, payung hitam, baju serba hitam. Ku ciumi asal wangi-wangian yang tak awam ini. "Ini bau bunga-bungaan" ujarku. Harum sekali, dan menempel di badanku sepertinya.

Dharma, ku lihati lelaki ku itu menangis hampa. Terisak dia tak biasa, ku hampiri dia. Tapi aku ingat, dia pernah mengusirku waktu itu dan membuangku sedramatis dulu. Aku bersembunyi di balik pepohonan di dekatnya, ku hintip dia.

Dia pulang, ku ikuti dia. Aku berani melakukan ini karna wanita jalang yang sering bersamanya tidak di sampingnya sekarang. Sepanjang jalan, kepala dharma memilih untuk nail ke atas dan menengok kesamping menghindari tatapan orang yang berpapasan dengannya. Aku tau, dia menangis.

Dia membuka pintu, dan entah kenapa aku merasa sangat mudah bagiku kali ini masuk ke rumahnya. Di dalam kamarnya, dharma rebah di ranjangnya menghadap tembok. Dia memegang handphone ku. Aku terkejut di buatnya, pertanyaannya : dari mana dia bisa memperoleh handphone ku?
Sambil terisak dia membuka inbox ku. Ku amati apa yang di lihatnya dari balik punggungnya. Ada sentbox disana "pancha, aku sedang sakit. Bisakah kamu kesini dan merawatku seperti dulu?"
Kemudian aku teringat 3 hari lalu aku berjalan hujan-hujan kerumahnya untuk membawakan obat yang biasa dia minum. Karna dia mengusir dan menutup pintu, ku letakan saja obat itu di samping pintunya dan ku tuliskan disana "masukan obat itu ke roti agar tidak terasa pahit ya, sayang".

Ku perhatikan lagi isi sms ku "aku tidak pernah berfikir kamu yang melemparkan sms itu zaharaa, aku tidak pernah berfikir lelakiku berani menyentuh wanita selain aku. Apalagi menyentuh hati wanita lain selain hatiku. Yang ku fikir hanya sederhana, tidak membiarkannya sakit, tidak membiarkannya tidur di atas meja selesai membaca buku kesukaannya, tidak membiarkan dia merasa beban dengan masalah-masalah keluarganya. Yang tidak pernah aku fikirkan lagi, kamu melemparkan sms ini untuk ku hanya untuk menunjukan bahwa kamu benar-benar hebat menghancurkan hubunganku bersamanya berulang-ulang kali. Aku tidak akan menitipkan lelakiku padamu. Karna, aku tau. Aku akan memaafkannya berkali-kali. Dan kamu akan menjauh sendiri. Berganti, dan berlalu"

Ku perhatikan dharma yang semakin menangis di ranjangnya. Menggit giginya kuat-kuat, menahan benang urat yang muncul di samping lehernya. Sentbox selanjutnya di baca olehnya "dharma, ini keluarga pancha. Semoga kamu masih sudi mengunjungi pemakaman pancha. Meskipun keluarga tau betul masalahmu dan pancha. Tapi, keluarga tetap berusaha mengikhlaskan. Setidaknya, kamu bisa mengerti dari kejadian ini. Betapa anak ibu di didik dengan ikhlas dan kemurnian hati dari keturunan yang luar biasa"

Aku menatap setiap tubuhku, aku menatap tangan dan jemariku. Aku sudah tidak ada, menatap dan mendengar raung tangis lelakiku saja yang semakin samar. semakin samar, kemudian menghilang.

Yogyakarta, 11 oktober 2015. @sajakrenjana

1 komentar:

  1. halo mbak Renjana, salam kenal. saya udah baca beberapa tulisan mbak renjana ini. tulisanya bagus-bagus dan enak sekali untuk dibaca. saya juga pendatang di dunia blogger. blog saya www(.)keluarrumah(.)com *tanda kurungnya di hilangin ya. nah saya ingin menawarkan mbak renjana sebagai admin di blog saya itu. bagaimana saya bisa menghubungi mbak renjana untuk bicara lebih lanjut? trimakasih...

    BalasHapus